Selasa, Januari 20, 2009

Oh, Perempuan Itu !

Punggungnya melepas senyum. Aku tak berkelit. Tak kuhiraukan secuilpun. Entah mengapa memang. Lengkingan suara kereta api membisingkan suasana. Belum lagi suara bang PPKA sahut menyahut dalam kejaran kereta. Lalu lalang manusia mencuri konsentrasiku. Tapi semakin lama senyum itu semakin menghardikku. Senyum ini bukan senyum biasa. Senyum ini lain dari yang dilepaskan orang lazimnya. Aku semakin yakin. Tak kuasa akupun memaksa menoleh. Tapi bukan punggung dalam senyuman itu. Senyuman yang membuatku galau. Galau dalam sejuta asa yang bertanya-tanya. Kuperhatikan dengan seksama. Pinggulnya kemudian betisnya. Putih alami. Ada sinaran berkelip. Walau lekukannya begitu datar tak berbentuk. Lho kok bisa? Pikirku sejenak. Jantungku berdegup seketika. Diapun semakin menjauh. Melangkah perlahan dengan tentengan seutas karung dalam bahu. Namun semakin jauh. Lalu berhenti sejenak menjumput botol dan kaleng bekas dalam kemasan keranjang sampah. Akupun ingin mengejarnya. Ingin membalikkan punggung itu. Punggung yang sedari awal tak ingin ku menyapa. Oh perempuan itu..

Terminal Leuwipanjang senja ini begitu terik. Sementara sebelumnya mendung menyapa. Kovic yakin akan datang hujan. Tentunya sangat berharap. Maklum hampir setahun sudah hujan tak ngucur-ngucur. Tak dinyana hujan enggan meyemburkan liurnya. Hanya dua menit ngucur selanjutnya tak bersuara lagi. Terikpun kemudian menyayat kulit. Kulit yang tak sebening kulit perempuan itu. Aku tahu Kovic kelihatan lesu karena dia sudah lama menantikan hujan. Tahun lalu ketika terakhir kalinya hujan datang dia kegirangan. Raut wajahnya segar. Dia pernah bercerita hujan selalu mengingatkan dirinya akan sesosok perempuan yang pernah dijumpainya di persimpangan rel kereta api Depok. Namun tak bersapa Perempuan itu bertelingkup manja dalam sinisnya pandangan sejawatnya. Tak pernah dihiraukannya. Saban hari bergulir demikian terus menerus. Mungkin yang tersirat dalam benaknya adalah hidup ini harus mengalir. Semangat dalam nadi darahnya begitu menggebu. Orang normalpun kadang tak sebegitunya. Ya, normal selalu berlawanan dengan tidak normal. Idiot lebih pantas melekat pada dirinya. Dakwaan itu begitu kejam, Di! Aku tak pernah mengindahkan dakwaan itu, malah segumpal tanya dan penasaran hinggap di otakku yang tak seberapa ini. Berhari-hari kusorongkan pandanganku pada lintasan rel itu. Bukan hendak menemui seseorang atau sekedar nongkrong bersama teman-teman di dudukan rel sambil menunggu kereta. Hanya ingin bersendau-gurau dengan dengan sosok itu. Tak juga kujumpai. Jalan Kukusan selalu kulalui. Bikun begitu sabar mengantarkan langkahku setiap hari. Andai saja kutemui dia. Begitulah cerita Kovic mengesankan perempuan itu. Sampai dibibir terminal dia menyalamiku. Kemudian kami berjalan berlawanan arah.

Dua hari yang lalu temanku Ricki menelepon aku untuk menemaninya. Dia perlu masukan dan sendau gurau dariku. Sudah hampir satu tahun ini dia mencoba membuka toko buku. Tak seberapa memang. Semuanya itu berawal dari hobbynya membaca buku. Aku dahulu menganjurkannya untuk menyelesaikan title sarjananya dahulu yang tinggal satu mata kuliah, sebelum memutuskan menentukan titian hidupnya kelak. Sikapnya yang keras membuatku tak pernah berdaya untuk membujuknya lagi. Kala itu dia hanya mengatakan sebuah bantahan yang bagiku tidak terbantahkan. Ini masalah prinsip, Di! Buat apa lagi aku melanjutkan sekolahku yang toh juga nantinya tidak berguna bagi orang lain. Miris rasanya menyaksikan mereka yang katanya punya ilmu tinggi tapi toh juga tuntung-tuntungnya korupsi. Menyusahkan rakyat, Di! Hidupku hanya ingin bermanfaat bagi orang lain. Sekalipun miskin dan bersusah susah. Dengan berjualan buku aku berbuat sedikit untuk mencerdaskan masyarakat. Bukan begitu, Di!

Meluncur melintasi batas kota bus itu tak pernah teduh. Maklum harganya dibawah standar. Yah kalau bisa dikata, harga mahasiswa sangat pantas. Kami dihibur dengan hiburan jalalan yang semakin semarak. Berkali-kali. Oleh bocah yang seharusnya duduk dibangku sekolah dasar. Ditemani dua sahabatnya. Juga masih bocah. Suaranya serak mendendang. Kadang juga melinting keras. Urat dilehernya tampak merayap menegang. Sahabatnya mengiringinya dengan penuh semangat.
Rasa ini tak mungkin bisa kuungkap lagi.. Berakhir. Tterlalu lama kau jauh.. Kembali.. Masih teringat sepanjang jalan kenangan itu kita selalu bergandeng tangan.. Kita mengikat senyum dan hasrat yang akan abadi.. Heii..heii.. Ououou..Ouou.. 15 menit berlalu. Ternyata sudah tiga lagu mengalun. Tak terasa. Ada resapan jiwa dalam lagu yang mengalun itu. Kelihatannya mereka lepas

Kota yang begitu terik ini menghantarkan aku menemui temanku. Aku menjambanginya ketika sepasang matanya asyik menunduk seraya memegang buku. Kami bercengkarama, berdiskusi tentang beberapa hal. Aku menyarankanya untuk membeli bukunya Paulo Coelho yang banyak bercerita tentang kelana hidup dan kebijaksanaan. Bisa-bisa inspirasimu bertambah kekayaannya Ki. Ujarku. Senja pun semakin remang dalam liukan tawa dan canda kami.

Tiba-tiba aku terhenyak. Aku terkagum. Terhenyak sambil terkagum. Bincangan yang sedari tadi akrab dengan Ricki tak bernyawa lagi. Punggungnya melepas senyum. Aku tak berkelit. Tak kuhiraukan secuilpun. Entah mengapa memang. Lengkingan suara kereta api membisingkan suasana. Belum lagi suara bang PPKA sahut menyahut dalam kejaran kereta. Lalu lalang manusia mencuri konsentrasiku. Tapi semakin lama senyum itu menghardikku. Senyum ini bukan senyum biasa. Senyum ini lain dari yang dilepaskan orang lazimnya. Aku semakin yakin. Tak kuasa akupun memaksa menoleh. Tapi bukan punggung dalam senyuman itu. Senyuman yang membuatku galau. Galau dalam sejuta asa yang bertanya-tanya. Kuperhatikan dengan seksama. Pinggulnya kemudian betisnya. Putih alami. Ada sinaran berkelip. Walau lekukannya begitu datar tak berbentuk. Lho kok bisa? Pikirku sejenak. Jantungku berdegup seketika. Diapun semakin menjauh. Melangkah perlahan dengan tentengan seutas karung dalam bahu. Namun semakin jauh. Lalu berhenti sejenak menjumput botol dan kaleng bekas dalam kemasan keranjang sampah. Akupun ingin mengejarnya. Ingin membalikkan punggung itu. Punggung yang sedari awal tak ingin ku menyapa.
Kuderetkan langkahku dengan gegas.
Di, mau kemana?
Iiii...tu.. itu perempuan itu. Bibirku terperangkap gagu.
Perempuan mana?
Dengan tenang Ricky melipat buku yang dalam genggamannya. Merapat kepadaku untuk mempertegas penglihatanku. Rasa ingin tahunya juga besar.
Yang mana Di!
Kereta yang meluncur dari arah selatan berhenti. Menghalangi pandangan kami. Jari telunjuk yang sudah menunggu dari tadi sementara kutunda dulu untuk memberitahu kepada Ricky akan penglihatanku.
Yah...sudah tak disitu lagi Ki! Kamu telat sih. So..sok perempuan itu
Ah sudahlah..
Perempuan-perempuan disini nanti pasti banyak kok yang berlalu lalang. Walau memang tak secantik perempuan-perempuan di Bandung. Sudahlah tak usah kau hiraukan lagi.
Kuindahkan saja kata-kata Ricki. Memang benar untuk apa aku memusingkannya.

Pagi buta ini begitu tak bersahabat. Embun pagi pun tak tampak. Kelopak mata yang setengah sadar berusaha menikmati pagi. Kebiasaaan rutin yang saya lakukan di Bandung. Tapi tak kutemukan jiwanya. Orang bilang suasana menentukan hati dan semangat. Bantahan sontak hadir mengisi ruang kepalaku. Kugirangkan jiwaku walau dengan sedikit berat hati. Aku yakin mula baik akan menetukan titian selanjutnya. Begitu juga dengan hari ini.

Pukul delapan pagi aku dan Ricki sudah berada di toko bukunya. Aktivitas pagi pun menyeruak. Kereta datang silih berganti. Memuntahkan dan mengisap penumpang. Beberapa toko sudah mulai buka. Denyut nadi persimpangan rel ini pun berdetak.

Dalam penglihatan yang samar aku kembali melihat perempuan yang kemarin itu. Tapi tak kuberitahu pada Ricki. Ramai pengunjung menyibukkan dirinya. Belum lagi beberapa bertanya tentang buku baru. Sekali-kali dia juga mengajak berdiskusi beberapa pelanggan yang datang.
Langkahku mendekati dia. Parasnya belum terlihat jelas bagiku. Punggung itu yang selalu tampak. Seketika pikiran sadarku berujar. Untuk apa kudekati perempuan itu. Riasan seperti itu menyimpulkan suatu ketidaklogisan. Bisa saja otaknya sudah miring. Setengah gila begitu. Seperti ocehan orang-orang. Perjumpaan yang akan membawa petaka bagiku. Begitu aku memegang pundaknya aku mungkin akan dikejarnya. Aku akan tungggang-langggang dan orang-orang akan menertawaiku. Bisa juga besi panjang pengait botol itu akan dicucukkan ke badanku dan aku akan terkujur seketika. Darah akan mengalir. Begitu terkapar aku akan dikulitinya. Jantungku akan dikoreknya. Lalu dimakannya. Dia akan tersenyum. Dia akan melompat-lompat kegirangan karena santapan tubuhku begitu lezat baginya.
Niatpun kuurungkan untuk menyapanya. Aku terduduk di kursi yang sudah tersedia. Kuminum segelas botol air minum untuk meredakan buyar pikiranku. Kuperhatikan polah tingkahnya. Sederhana saja yang dia kerjakan. Bisikku dalam hati. Akupun terkaget. Punggung itu tak perlu kubalikkan. Dia memutar tubuhnya melangkah mendekati aku. Keringat dinginku pun bercucuran. Menjilati wajah sampai keleherku. Mungkin dari tadi dia sudah tahu aku mematai-matainya. Kuancangkan kakiku untuk bersiap melawan arah angin yang kebetulan waktu itu berhembus dari utara. Dia semakin dekat. Kakiku gemetar. Tertahan bagai paku telah memacungnya. Telingakupun tiba-tiba terasa panas begitu dia mendekat. Duduk disampingku dan menyapaku.
”Hei..” Suaranya begitu halus. Tak kusangka. Wewangian menyembur dari aroma tubuhnya.
Haus neh! Bagi airnya dong! Mintanya dengan mengayun tangannya
Kujulurkan botol minuman itu kepadanya
”Oh ya tentu saja. Silahkan. Dihabiskan pun tidak apa-apa kok”
Kuperhatikan tegukannya. Air mengalir deras dari kerongkongannya.
Dia memang sudah begitu haus pikirku.
Botol itu pun kosong dan segera dia memasukkannya ke karung yang ditentenya dari tadi.
”Trimakasih!” Ujarnya
Sekonyong-konyong fobia ketakutankupun musnah. Kelembutannya begitu mendinginkan otakku yang terlalu liar. Kuperhatikan dengan seksama parasnya yang begitu molek dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya yang terurai dengan indah. Begitu mata kami bertatapan sontak pertanyaan yang selama ini mengendap dalam jurang pikiranku mengeronta.
Aaa..aa... Bibir ku tak mampu mengenduskan suara dari pikiranku
Kutenangkan tubuhku dan meluncur juga pertanyaan itu dengan deras.
Kenapa kamu melakukan pekerjaan ini? Kupegang bahunya yang hendak beranjak dari tempat duduk yang sedari tadi menawanku. Kamipun terduduk kembali
Asal kamu tahu saja pekerjaan ini bagiku begitu mengasyikkan.
Lho kenapa? Bukankah pekerjaan ini begitu hina bagi pandangan orang-orang? Parasmu pun begitu memesona, tak layak dirimu melakukan ini semua. Balasku.
Matanya tajam menerobos kelopak mataku. Ada ketidaksenangan atau bahkan ketidanyamanan yang tersimpan dalam jiwanya.
”Hina bagaimana maksudmu? Bukankah pekerjaan ini begitu berguna bagi banyak orang. ” Aku jadi teringat akan temanku Ricki tentang prinsip hidupnya.
”Aku sangat menikmati hidup seperti ini dan membuatku merasa bebas. Terlepas dari kutukan dan kungkungan. Ya terlepas dari kutukan dan kungkungan.”
Tak kusela sedikitpun kata-katanya yang semakin menghanyutkan diriku.
”Kungkungan itu berasal dari ayahku. Kutukan itu juga datang dari ayah. Dahulu saya tinggal di bilangan pondok indah. Begitu mewah. Ayah mengusirku dari rumah. Dan aku senang. Karena bagiku kejujuran adalah topangan hidup. Aku diusir karena pertanyaanku sederhana. Harta yang ayah kumpulkan itu berasal dari mana saja? Ayah hanya PNS golongan II. Sudah hampir sepuluh tahun pangkatnya tidak naik-naik tapi harta kami melonjak tinggi. Hingga dua buah mobil mewah sekarang sudah hinggap di teras rumah kami. Ayah menamparku. Sifatnya memang keras. Pertanyaan itu kuulang tiga kali karena aku tak kunjung mendapat jawaban. Dan tiga kali pula tamparannya mendarat dipipiku. Hinga suatu kali aku menjumpai ayah tertangkap oleh mataku di ruang tamu negosiasi dengan seorang yang membawa koper berisi uang. Kutanya kembali apa yang dilakukan ayah waktu itu. Seperti yang kuduga tangan kanannya pun mendarat dipipiku. Ayah mengusirku dari rumah. Akupun dengan senang hati beranjak dari rumah yang tidak lagi bersabat denganku. Sekarang karung ini yang lebih bersahabat denganku. Aku melakukanya dengan tulus, iklas dan yang terpenting jujur. Sebenarnya orang-orang disini tidak banyak yang tahu bahwa aku adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pertanyaan sederhana itu kudapatkan dari kuliah di kampus itu. ”

Hari berganti berkejar-kejaran dengan lengkingan suara kereta. Keesokan harinya aku tiba di Bandung. Kala itu hujan begitu lebatnya. Kuceritakan semuanya pada Kovic. Secepat kilat pula dia bergegas menenteng tasnya yang hanya berisi dua buah baju. Vic, kamu mau kemana? Teriakku..

Persimpangan Rel Kereta Depok,
Lambok FC Pardede dan sebatang rokok yang mengembul

Related Article...



0 komentar:

Posting Komentar

---------------------------------------------------------------------

ADMIN ONLINE STATUS

GMKI Bdg
Henry

Peta Alamat Sekretariat GMKI Bandung

Lihat Semua Arsip

BUKOM ONLINE

Ekspresikan diri Anda buat rekan2 GMKI'ers melalui Bukom Online dibawah ini.
Pasang emoticon, klik tanda +

Tulis pesan, kritik, dan saran Anda



Back to TOP